
Kesalahpahaman orang terhadap ikan lele, sangat merugikan bagi ekosistem liar. Indonesia memiliki banyak sekali spesies lele lokal, meski jika di Pulau Jawa, sebutan 'lele lokal' sudah semestinya merujuk pada spesies Clarias batrachus. Budidaya spesies ini masih sangat minim, dan dianggap tidak semenguntungkan spesies invasif dari genus yang sama, yaitu lele dumbo atau Clarias gariepinus dari Afrika. Mari kenali spesies lokal kita lebih dekat secara ilmiah, sebab jika kita tak mengenalinya, maka salam lestari adalah omong kosong. Kita akan mulai dengan klasifikasi dasar dari C. batrachus, yang memiliki nama nasional 'lele jawa'.
Klasifikasi Dasar
Ordo:
Siluriformes (Lele)
Keluarga:
Clariidae (Lele berpernapasan tambahan)
Genus:
Clarias
Spesies:
C. batrachus
Ordo Siluriformes adalah ordo yang menaungi banyak ikan berkumis, meski tak semua ikan berkumis adalah anggotanya, namun secara singkat maksud penulis, dalam bahasa inggris kita menyebutnya 'catfish'. Bagaimanapun juga, sejak kita masih kanak-kanak, kita diajarkan bahwa catfish adalah lele, namun umumnya di Indonesia, nama 'lele' hanya merujuk pada genus Clarias, sehingga tak jarang ada perbedaan pemahaman. Sebagai contoh misalnya, keluarga ikan patin (Pangasiidae) yang umum dalam studi ilmiah disebut 'pangasid catfish'. Mari bayangkan, betapa mudah hal ini jadi perdebatan di Indonesia jika kita katakan secara serta merta ikan patin, sebagai 'lele pangasid', atau 'lele patin'. Pertanyaan paling puncak jika kita sebut ikan ini sebagai lele patin, pasti senada seperti: "jadi, itu lele atau patin?". Baik, penulis rasa, pembaca telah mulai mengenal ordo ini, mari kita lanjutkan ke tingkat yang lebih kecil.
Bicara tentang keluarga atau famili dalam taksonomi (read. pengelompokkan biota secara ilmiah), artinya bicara pada lingkup kekerabatan yang makin dekat. Kedekatan kekerabatan, meski tak selalu, namun memang akan mengantarkan kita pada kemiripan antar anggota yang lebih tinggi, dibanding ketika kita tadi bicara pada tingkat ordo. Ya, tak ada lagi patin di sini, anggota dalam keluarga ini, kurang lebih jika dilihat dari pandangan awam, memang lele, meski bentuknya bermacam-macam. Ada sekitar 16 genus dari 117 spesies yang ada di bawah kelarga Clariidae, namun di Indonesia, hanya ada sepasang genus, dan sekitar 19 spesies. Genus Clarias menaungi sekitar 14 spesies, dan genus Encheloclarias menaungi sekitar 5 spesies. Singkat cerita, keluarga ini secara global dikenal dengan 'airbreathing catfish', yang kemudian penulis artikan sebagai 'lele berpernapasan tambahan'. Keluarga ini memiliki mekanisme pernapasan tambahan, memungkinkannya memanfaatkan oksigen dari udara di atmosfir, sebab adanya adaptasi di lingkungan dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah dalam air. Anggota dalam keluarga Clariidae ini, memiliki organ dalam sistem respirasinya (read. pernapasan) yang disebut organ dendritik (Adamek-Urbańska et al., 2021). Pembaca bisa melihat illustrasi dari artikel tersebut di bawah, dalam gambar tersebut, peneliti membandingkan keluarga Clariidae dengan subordo Anabantoidei yang terkenal dengan pernapasan tambahannya juga (Gambar 1).
Gambar 1. Illustrasi pernapasan tambahan pada subordo 1.) Anabantoidei, dan keluarga 2.) Clariidae (Adamek-Urbańska et al., 2021). Illustrasi ini menunjukkan beberapa perbedaan pernapasan tambahan pada subordo Anabantoidei (kelompok yang menaungi ikan gurame, sepat, cupang, betik dan lainnya) yang menggunakan organ labirin (LO) dan keluarga Clariidae yang menggunakan organ dendritik (DO). Perbedaan keduanya juga ada pada membran bilik brankial (SBC), membran ini merupakan membran yang menjadi tempat organ pernapasan pada beberapa ikan, dan terkadang membran ini juga berkaitan dengan proses respirasi, pendengaran dan pencernaan. Beberapa warna menunjukkan spesifikasi bagian pada SBC, yaitu: merah untuk kepala (cranial); biru untuk punggung (dorsal); dan hijau untuk ekor (caudal).
Genus Clarias merupakan genus 'Dunia Lama' (note: berkaitan dengan persebaran spesies) terbesar (read. jumlah anggota terbanyak) dalam keluarga Clariidae, dengan jumlah 48 spesies pada penelitian tahun 2008 (Ng & Kottelat, 2008), dan kini telah ada sekitar 62 spesies di seluruh dunia. Persebaran genus ini mulai dari Afrika hingga Asia Tenggara termasuk Indonesia, namun sebagian besar dari Afrika (Teugels et al., 2001). Genus ini merupakan genus dengan peran sangat penting dalam budidaya di perikanan, sehingga distribusinya juga tak hanya sebagai spesies lokal, namun juga tak jarang sebagai spesies asing dan invasif. Nama Clarias sendiri diambil dari Bahasa Yunani, 'Chlaros' yang artinya hidup, mengacu pada daya tahan ikan ini di luar air. Menyinggung tentang penciri kunci genus, jika dikerucutkan hanya di Indonesia, maka kita akan menemukan hanya ada dua genus, yaitu Clarias dan Encheloclarias. Perbedaan mencolok genus Clarias dan Encheloclarias ada pada sirip dorsal (read. punggung), di mana Clarias hanya memiliki satu sirip memanjang hingga ke pangkal ekor, sedangkan Encheloclarias memiliki dua sirip dorsal, dan sirip dorsal keduanya merupakan sirip adiposa (read. terdiri dari jaringan lemak) (Gambar 2). Penulis rasa, kita sudah bisa menyantap menu utama dalam tulisan ini, mari mulai membahas tentang C. batrachus!
Gambar 2. Illustrasi kedua genera (note: jamak dari genus) dalam keluarga Clariidae di Indonesia, yaitu Clarias dan Encheloclarias. Sirip adiposa pada anggota genus Encheloclarias sangat mencolok dan berbeda dari anggota pada genus Clarias, karakter ini dapat dijadikan kunci pembeda kedua genus, meski masih banyak karakter kunci lain jika harus dijabarkan lengkap. AFP
Spesies ini, memiliki berbagai nama lokal, mulai dari lele lokal, lele kampung hingga lele jawa, yup, terdengar agak rasis jika hilangkan kata 'lele' dari sebutan-sebutan itu, namun penulis rasa, semua setuju bahwa C. batrachus memang disebut lele. Secara global, ikan ini disebut sebagai asian walking catfish, walking catfish dan juga philippine catfish. Sesuai dengan namanya yaitu walking catfish, selain tahan di luar air untuk beberapa waktu, C. batrachus juga dapat menggoyangkan badannya, dan mengarah atau seolah berjalan, mencari perairan baru. Ah, untuk nama philippine catfish, ini berhubungan dengan persebarannya, namun kita akan diskusikan lagi nanti, mari bahas yang lain dulu. Meski di Indonesia, spesies ini terancam oleh spesies invasif seperti C. gariepinus, namun di luar persebaran alaminya, spesies ini juga menjadi invasif di berbagai tempat, sebab selain menjadi komoditas budidaya untuk konsumsi, spesies ini juga ditemukan diperjual belikan sebagai komoditas hias dan spesies model dalam berbagai penelitian (Teugels et al., 2001).
Spesies ini juga diklaim merupakan spesies yang digunakan untuk pengobatan di beberapa bagian India, terlebih di Bengal Barat dan Tripura. Selain ketahanan Clarias yang membuatnya mudah dipelihara, dagingnya juga disenangi di kalangan ibu hamil, menyusui, anak-anak dan lansia di daerah tersebut. Ikan ini disebut 'magur', dan sering diresepkan untuk penderita anemia dan penyembuhan penderita malnutrisi (Debnath, 2011). Namun kemungkinan, magur merupakan spesies Clarias magur yang secara alami tersebar di India, namun salah diidentifikasi sebagai C. batrachus, kendati demikian, artinya kedua spesies memiliki kemiripan yang tinggi (Gambar 3). Sayang, potensi seperti magur di India, tidak sejalan dengan nasib C. batrachus di Pulau Jawa, sebab memang tidak begitu dikembangkan, kalah dengan spesies Clarias dari luar. Bagi penulis, ada yang lebih meresahkan dari itu, bahwa bahkan C. gariepinus malah dikramatkan di beberapa tempat di Indonesia, mungkin karena ukurannya yang bisa mencapai 170 cm dalam panjang total atau TL (note: dari ujung moncong hingga ujung ekor), sedang penulis pribadi tak pernah mendengar kabar C. batrachus dikramatkan. Apakah memang bekas mental menghormati penjajah masih begitu kental di masyarakat kita? Ah, baik, mungkin pembaca mulai bertanya-tanya hal lain, sebenarnya persebaran alami C. batrachus ini seluas apa? dan mengapa di awal paragraf, sempat disinggung bahwa spesies ini dikenal juga dari Filipina? Baik, kita mulai buka kartu selanjutnya.
Gambar 3. Perbedaan antara C. batrachus dari Jawa, dan C. magur dari India (Ng & Kottelat, 2008). 1.) menunjukkan perbedaan pada bentuk kepala kedua spesies; 2.) menunjukkan perbedaan duri sirip dada atau pektoral, dari kedua spesies.
Spesies C. batrachus pertama kali dideskripsikan di Jawa, tepatnya di sekitar Bandung, sebagai Silurus batrachus oleh seorang peneliti ternama, Carl Linnaeus pada 1758. Informasi ini sekaligus menegaskan bahwa konfirmasi spesies C. batrachus, dalam rangka melihat luasan persebarannya, mengacu pada temuan tersebut. Kemiripan yang begitu tinggi antar anggota genus Clarias, menjadikan banyak catatan penyebaran melakukan misidentifikasi (read. kesalahan identifikasi). Sekarang, banyak pihak meyakini spesies ini secara alami hanya dapat ditemukan di Jawa, sedang di kawasan lain, spesies ini masuk dalam katagori introduksi, namun sebelumnya sempat secara umum dipercaya tersebar dari Asia Selatan (seperti pada kasus C. magur) hingga Asia Tenggara. Sebelumnya, ditemukan permasalahan taksonomi dan nomenklatur pada C. batrachus, namun pada 2008, salah satu artikel ilmiah (Ng & Kottelat, 2008) menyatakan adanya pembaruan individu rujukan sebagai neotipe dari Bandung, sebagaimana holotipenya dahulu (note: dalam taksonomi, individu neotipe adalah individu rujukan dalam ranah ilmiah, keberadaannya menggantikan individu rujukan pertama ketika spesies dideskripsikan, atau disebut holotope. Adanya neotipe, menandakan holotipe telah rusak atau hilang, sehingga tidak bisa digunakan). Hal ini mengarahkan pada deklarasi keraguan identifikasi berbagai lele yang diklaim sebagai C. batrachus di berbagai tempat. Artikel tersebut menyatakan, bahwa klaim C. batrachus dari daratan utama Asia Tenggara dan dari beberapa kepulauan Sunda di luar Jawa, merujuk pada spesies lain yang saat itu belum dideskripsikan (Gambar 4). Lebih jauh, persebaran Filipina sangat mencurigakan, namun dalam artikel tersebut, peneliti masih terbatas untuk mengungkapnya, entah persebaran tidak alami, atau spesies yang berbeda. Intinya, kini spesies C. batrachus memang diyakini hanya ada di Pulau Jawa saja. Ah, tulisan ini sudah cukup panjang, mari bahas identifikasi C. batrachus sebagai hidangan wajib dari penulis!
Gambar 4. Dokumentasi spesimen yang diklaim sebagai C. batrachus (Ng & Kottelat, 2008). 1.) dokumentasi spesimen neotipe dari C. batrachus; 2.) perbedaan C. batrachus dari Jawa dan C. aff. batrachus dari Indochina, sehingga diyakini sebagai dua spesies berbeda.
Kita telah membahas beberapa penciri di atas tingkat spesies, sekarang sebagaimana harusnya, akan lebih rumit, karena kita masuk pada penciri di tingkat spesies dalam genus Clarias. Jujur, penulis kurang menyukai ini sebagai hobi, namun menjelaskan taksonomi dengan bahasa yang mudah, memang tantangan, dan harus terus penulis pelajari. Kita masih akan menggunakan artikel yang sama, sebab bagaimanapun, itu adalah spesies rujukan atau neotipe dari C. batrachus. Sedikit mengeluh dan memberi gambaran tentang kesulitan tingkat spesies ini, bagi peulis yang terbiasa melihat C. batrachus, penulis masih salah dalam identifikasi melalui gambar di internet. Penulis melakukan kesalahan dalam mengambil referensi untuk digambar, dan penulis baru menyadari di tengah menulis ini, sebab ternyata, referensi utama illustrasi penulis sebelumnya, merupakan spesimen dari daratan utama Asia Tenggara (Gambar 5). Setelah penulis membuka kembali salah satu situs terbesar bagi masyarakat perikanan, yang membahas tentang berbagai ikan di seluruh dunia yaitu fishbase, maka penulis menemukan ironi lainnya. Bayangkan saja, ikan ini di situs tersebut masih dinamakan philippine catfish, sementara deskripsi penyebarannya hanya di Jawa, sedang koleksi foto di sana, tak satupun ada yang diunggah dengan keterangan dari Jawa. Inilah juga sebabnya penulis menyimpulkan, ketika kita mencari C. batrachus di mesin pencarian, maka kita akan diuji dengan bias dari dokumentasi berbagai spesies Clarias yang menyerupai C. batrachus. Intinya, penulis menggambar illustrasi lele ini dua kali sebab hal tersebut. Namun tenang saja, sebab toh tetap penulis tampilkan di sini, tidak ada yang mubadzir, haha.
Gambar 5. Illustrasi C. aff. batrachus dari daratan utama Asia Tenggara. Kesalahan identifikasi C. batrachus sangat tinggi jika dilihat dari mesin pencarian, kesalahan tersebut berpotensi menumbulkan bias pemahaman terhadap C. batrachus. AFP
Perbedaan utama C. batrachus dalam artikel rujukan penulis (Ng & Kottelat, 2008), dibandingkan Clarias lain dari Asia, adalah moncongnya yang sempit, dan ketika dilihat dari atas, maka akan terlihat garis sisi lurus, serta bentuk cembung ke arah depan (Hal ini dapat dilihat pada gambar 2 dan 3 sebelumnya). Yup, secara umum, hanya itu saja yang benar-benar berbeda menurut mereka, namun lebih lanjut, ada beberapa penciri pendukung lainnya. Penciri-penciri ini dapat digunakan untuk mengeliminasi spesies-spesies Clarias lainnya (sekurangnya 20 spesies) dari Asia, ketika identifikasi dilakukan. Penulis menyediakan illustrasi (Gambar 6) setelah penjelasan, pembaca dapat mengkombinasikan illustrasi dan penjelasan ketika proses memahaminya. Penciri pendukung berdasarkan morfologi (note: karakteristik bentuk tubuh) C. batrachus adalah sebagai berikut:
- Jari-jari sirip dorsal berjumlah antara 63-74 buah. Penciri ini berbeda dari perhitungan pada spesies seperti Clarias nigricans, Clarias nieuhofii dan Clarias pseudonieuhofii yang memiliki jari-jari sirip dorsal berjumlah 82-108 buah, dan Clarias fuscus dengan jumlah 56-63 buah.
- Jari-jari sirip anal berjumlah antara 47-58 buah. Jumlah lebih banyak, yaitu 56-96 buah dapat ditemukan di spesies lain seperti C. nigricans, C. nieuhofii, C. pseudonieuhofii, Clarias anfractus, dan Clarias sulcatus.
- Tulang belakang atau vertebra berjumlah 54-60 buah. Spesies lain seperti C. anfractus, Clarias batu, Clarias insolitus, Clarias leiacanthus, Clarias microstomus dan Clarias planiceps memiliki jumlah vertebra lebih banyak, yaitu 61-71 buah.
- Jarak ruas tulang oksipital (note: bagian belakang tengkorak) dengan sirip dorsal 5,5-8,9% dari panjang standart atau SL (note: pengukuran dari ujung kepala hingga pangkal ekor). Pada spesies C. batu dan C. insolitus, jaraknya lebih besar yaitu 9,9-13,1%; pada spesies Clarias intermedius, Clarias pseudoleiacanthus, Clarias meladerma, dan Clarias macrocephalus jaraknya lebih kecil yaitu 1,2-5,6%.
- Frontal fontanelle (note: sambungan tengah tengkorak di bagian depan) berbentuk panjang dan tipis. Berbeda dengan frontal fontanelle pada C. anfractus, C. leiacanthus, Clarias olivaceus, Clarias kapuasensis, C. planiceps, Clarias dussumieri, Clarias brachysoma, dan C. pseudoleiacanthus yang pendek dan lebar, bahkan mungkin kurang proporsional.
- Sisi luar duri sirip pektoral (read. dada), bergerigi atau kasar namun tidak beraturan. Hal ini telah sempat penulis tampilkan pada gambar 3 sebelumnya, melalui gambar pada artikel rujukan (Ng & Kottelat, 2008). Karakter morfologi duri sirip pektoral ini berbeda dengan karakter pada spesies C. anfractus, C. kapuasensis dan C. pseudoleiacanthus yang halus, dan karakter duri sirip pektoral dengan gerigi terpisah pada C. insolitus, C. magur, C. olivaceus, C. planiceps, C. dussumieri, C. brachysoma, C. intermedius, dan C. meladerma.
Gambar 6. Karakter kunci identifikasi C. batrachus dengan illustrasi C. batrachus dari rekonstruksi dokumentasi neotipe. Penomoran dalam gambar sesuai dengan penomoran dalam penjelasan karakter kunci. AFP
Setelah kunci identifikasi, sekilas menyinggung beberapa informasi tambahan dari C. batrachus. Dengan banyaknya perdebatan identifikasi pada berbagai temuan di penjuru dunia, maka sebenarnya informasi-informasi valid C. batrachus masih sangat terbatas, sebab kemungkinan misidentifikasi yang begitu tinggi. Ah, masih banyak yang bisa kita diskusikan, dan sebelum lanjut, penulis ingin sekalian promosi, kami dari Scientist of Fisheries Society (SOFS) sangat terbuka untuk melakukan penelitian kolegatif, pembaca bisa menghubungi penulis melalui email akhsanfp@gmail.com. Baik, kita lanjutkan, meski penulis ragu dapat membahas keseluruhan topik pada C. batrachus. Spesies tersebut hingga saat ini, dilaporkan dalam laman fishbase dapat tumbuh hingga panjang 47.0 cm, namun umumnya berukuran 26,3 cm, dengan maturitas (read. ukuran siap kawin) pada 28.0 cm. Berdasarkan laporan pribadi yang penulis dapat, serta klaim dari beberapa sumber di mesin pencarian, C. batrachus juga ditemukan di daerah payau, namun umumnya memang berada di habitat air tawar. Adapun beberapa sinonim nama latin dari C. batrachus, yang sudah tidak valid digunakan, yaitu S. batrachus (sebelumnya telah disinggung) dan Clarias punctatus, selain itu juga sempat diklaim sinonim dari Clarias assamensis (untuk C. assamensis kini menjadi sinonim dari C. magus). Penulis rasa, ini sudah cukup banyak, tolong bantu penulis mengetahui pendapat pembaca, atau nama lokal C. batrachus di daerah pembaca dan lain sebagainya di kolom komentar ya, itu akan sangat membantu penulis. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!
Pembaruan terakhir:
250306 (ver. 1)
Penulis dan Illustrator:
Akhsan F. Paricahya, S.Pi., M.Si. (AFP)
Daftar Pustaka
Adamek-Urbańska, D., Błażewicz, E., Sobień, M., Kasprzak,
R., & Kamaszewski, M. (2021). Histological study of suprabranchial
chamber membranes in Anabantoidei and Clariidae fishes. Animals, 11(4),
1158.
Debnath, S. (2011). Clarias batrachus, the medicinal fish:
An excellent candidate for aquaculture & employment generation. In International
Conference on Asia Agriculture and Animal. IPCBEE (13), Singapore (pp.
32-37).
Ng, H. H., & Kottelat, M. (2008). The identity of Clarias batrachus (Linnaeus, 1758), with the designation of a neotype (Teleostei: Clariidae). Zoological Journal of the Linnean Society, 153(4), 725-732.
Teugels, G. G., Sudarto, P. L., & Pouyard, L. (2001). Description of a new Clarias species from Southeast Asia based on morphological and genetical evidence (Siluriformes, Clariidae). Cybium, 25(1), 81-92.
Comments
Post a Comment